Sosial Budaya dalam Praktik Perawatan Kehamilan dan
Persalinan
|
Background : Reproductive health is
focusing on the reproductive aspect of women which are considerable problems on
sexuality and reproduction, such as ante-natal care, delivery process,
postpartum treatment etc. Maternal Mortality Rate and
infant mortality rate are some indicators of reproductive health, where in
Indonesia those rate are still high rather than some neighboring countries.
Previous research showed that socio-cultural and demographic factors influence
the high maternal and infant mortality rate. The purpose of this study was to
describe socio- cultural aspect towards ante-natal care, delivery process and
post –partum treatment among Javanese.
Method: The design study was observational with cross sectional approach. The research took place in Jepara Region, Central Java. The population study was women in reproductive age and total number of the sample was 60 women. Data were collected through questionnaire using in – depth interview guide. Socio- cultural factors data were gathered through in-depth interview with health providers, such as doctors, midwives as well as religious people and community leader. Results: This study found that the majority of the respondents (96.7%) did antenatal care, assisted by doctors or midwifes, accompanied by their husband (76.6%), done every month (48.3%). Midwife is health provider who was mostly chosen by respondents furthermore by traditional birth attendance (18,4%). The accompanying reasons were the distance between the home and the location, skill and the complete of the apparatus. Most of the respondent (93%) accompanied by their husband during birth process. During post- partum period, they took traditional medicine and also massage. This study found that there is no special food has been consumed during antenatal and post-partum period. Ritual activities have done such as mitoni (munari), krayanan (brokohan), resikan (walikan) and kekahan (aqiqah) since pregnancy until post-partum period. (Keywords : Antenatal care, Reproductive health, post partum.)
PENDAHULUAN
Konsep Kesehatan Reproduksi yang diperkenalkan dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo, Mesir, tahun 1994 yang menekankan kondisi kesehatan yang lengkap tidak sekedar terbebas dari penyakit atau kelemahan fisik, akan tetapi meliputi aspek mental dan sosial, yang berkorelasi dengan bekerjanya fungsi sistem serta proses reproduksi.
Bertolak dari konsep kesehatan reproduksi
tersebut, sasaran program kesehatan reproduksi difokuskan pada wanita sepanjang
masa reproduksinya atau wanita usia subur, yaitu sejak wanita tersebut
mendapatkan menstruasi pertama sampai dengan masa menopause (antara 15 tahun hingga 49 tahun), baik
menikah maupun tidak menikah. Program-program kesehatan reproduksi meliputi
pendidikan kehidupan keluarga, pencegahan kehamilan remaja, pencegahan penyakit
menular seksual, perawatan kehamilan, pertolongan persalinan, perawatan nifas,
pertolongan bayi baru lahir, dan keluarga berencana yang meliputi pemakaian alat kontrasepsi, peningkatan kemandirian ber KB
dan kegiatan-kegiatan yang mendukung Program Pembangunan Keluarga Sejahtera
(BKKBN, 1998)
Beberapa kendala masih ditemui di dalam
pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi antara
lain adanya realita tentang kurangnya kesatuan pengertian tentang kesehatan
reproduksi, kurang tersedianya infra strukkur di setiap kabupaten/ kota, adanya
variasi geografis, aspek sosial budaya serta tingkat sosio ekonomi yang relatif
terbatas (BKKBN, 1998).
Salah satu indikator kurang berhasilnya pro- gram
kesehatan reproduksi, ialah relatif masih tingginya angka kematian ibu
melahirkan (AKI). Angka kematian bayi baru lahir (IMR) menurut
perkiraan SDKI tahun 1997 yaitu 25 per 1000 kelahiran hidup
(Depkes, 2001) Angka kematian ibu (AKI) menurut SKRT tahun 1986
adalah 450/ 100.000 kelahiran hidup mengalami penurunan yang lambat menjadi 373/
100.000 kelahiran hidup pada tahun 1995 dan turun lagi menjadi 51/ 100.000
kelahiran hidup pada tahun 2001. Angka ini 3 – 6 kali lebih besar dari negara-
negara di ASEAN dan 50 kali lebih besar angka di negara maju. Indonesia
menetapkan target penurunan AKI dari 115/ 100.000 kelahiran hidup pada tahun
1990 menjadi 75/ 100.000 pada tahun 2015 dan penurunan angka kematian bayi
(AKB) menjadi 35/ 1000 kelahiran hidup di tahun 2015.
(Depkes RI, 2002)
Untuk mengatasi masalah tersebut maka pemerintah
menetapkan target pada tahun 2010 yaitu: 1).menurunkan angka kematian ibu
menjadi 125/100.000 kelahiran hidup, 2). menurunkan angka kematian neonatal
menjadi 15/1000 kelahiran hidup serta target proses dan output diantaranya
adalah meningkatkan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan trampil menjadi 85%
(Depkes RI, 2004). Untuk mencapai tar- get tersebut, strategi
yang diterapkan yaitu Making pregnancy Safer
(MPS) yang mempunyai visi : semua perempuan di Indonesia
dapat menjalani kehamilan dan persalinan dengan aman serta bayi
yang dilahirkan hidup dan sehat (Depkes RI, 2004).
Empat pilar strategi utama MPS yang konsisten
dengan Indonesia Sehat 2010 yaitu :
1). meningkatkan akses dan cakupan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir berkualitas yang cost effective dan berdasarkan bukti-bukti yang didukung dengan 2). membangun kemitraan yang efektif melalui kerjasama lintas program, lintas sektoral dan mitra lainnya untuk melakukan advokasi guna memaksimalkan sumber daya yang tersedia serta meningkatkan koordinasi perencanaan dan kegiatan MPS, 3). mendorong pemberdayaan wanita dan keluarga melalui peningkatan pengetahuan untuk menjamin perilaku sehat dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir, 4). mendorong keterlibatan masyarakat dalam menjamin penyediaan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir (Depkes RI, 2001)
Tingginya angka kematian maternal yang berhubungan
dengan kehamilan dan persalinan dipengaruhi oleh faktor- faktor di dalam dan di
luar kesehatan / medis. Pelayanan obstetri
yang tepat guna dan memadai bila tersedia belum menjamin pemanfaatannya oleh
masyarakat karena adanya hambatan jarak , biaya dan budaya. Pengetahuan dan
kesadaran masyarakat dalam pengenalan tanda bahaya dan pencarian pertolongan
profesional seringkali belum memadai. Di banyak negara berkembang masih
ditemukan hambatan akses yaitu berupa ketidakberdayaan wanita dalam pengambilan
keputusan sementara peran suami, ibu atau mertua sangat dominan dan banyak
faktor lain yang menyebabkan keterlambatan dalam rujukan.
Secara umum dikenal tiga jenis terlambat yaitu
:1).terlambat dalam mengambil keputusan merujuk yang merupakan langkah pertama
untuk menyelamatkan ibu yang mengalami komplikasi obstetri, 2).
terlambat dalam mencapai fasilitas kesehatan yang dipengaruhi oleh jarak,
ketersediaan dan efisiensi sarana trasnportasi serta biayanya, 3). terlambat
dalam memperoleh pertolongan di fasilitas kesehatan yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor : jumlah dan ketrampilan tenaga kesehatan, ketersediaan
peralatan, obat, transfusi darah dan bahan habis pakai serta
manajemen dan kondisi fasilitas pelayanan (Depkes RI, 1999).
Proses reproduksi berawal dari sebelum terjadi konsepsi, sebelum terjadi pembuahan oleh sperma terhadap sel telur, kemudian terjadi konsepsi, hamil, lahir, bayi, remaja, usia produktif dan usia lanjut. Dengan demikian kesehatan reproduksi dimulai sejak masa remaja hingga usia lanjut (Muhammad, 1996). Untuk menjamin terjadinya kesehatan reproduksi yang optimal perlu pelayanan kesehatan reproduksi yang berkesinambungan, sejak remaja hingga usia lanjut.
Kesehatan reproduksi kaum remaja ditekankan pada
kegiatan pendidikan kehidupan keluarga, pencegahan kehamilan remaja dan
pencegahan penyakit menular seksual. Sedang pada masa perkawinan dalam
kondisi produktif kesehatan reproduksi yang perlu diupayakan meliputi perwatan
kehamilan, pertolongan persalinan, perawatan bayi baru lahir, perawatan nifas
dan praktek keluarga berencana, dan upaya-upaya ini sering
disebut sebagaisafe motherhood. Pada masa usia
lanjut, kesehatan reproduksi berkaitan dengan upaya skrinning
keganasan tumor dan menopause (Muhammad,
1996).
Kondisi sosial budaya (adat istiadat) dan kondisi
lingkungan (kondisi geografis) berpengaruh terhadap kesehatan
reproduksi. Situasi budaya dalam hal ini adat istiadat saat ini memang tidak
kondusif untuk help seeking behavior dalam masalah
kesehatan reproduksi di Indonesia (Muhammad, 1996). Hal ini dikemukakan
berdasarkan realita, bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya sudah terbiasa
menganggap bahwa kehamilan merupakan suatu hal yang wajar yang tidak memerlukan
antenal care. Hal ini tentu berkaitan pula tentang pengetahuan dan
pemahaman masyarakat tentang pentingnya antenatal care dan
pemeliharaan kesehatan reproduksi lainnya.
Tingginya angka kematian bayi dan ibu bersalin
serta faktor penyebabnya baik dari segi kesehatan/ medis maupun diluar kesehatan
mendorong penulis untuk meneliti bagaimanakah praktek perawatan kehamilan,
persalinan dan nifas serta deskripsi sosial budayanya. Karena
luasnya bidang kajian kesehatan reproduksi maka dalam tulisan ini dibatasi pada
masa kehamilan yaitu perawatan kehamilan, kelahiran
(persalinan) bayi dan masa nifas (perawatan nifas).
1. Karakteristik
Responden
Mayoritas responden berumur 20 sampai 29 tahun (43,3%0 dengan tingkat pendidikan terbanyak adalah lulus SD (31,7%) dan penghasilan keluarga responden terbanyak adalah Rp.400.000,- perbulan atau rata-rata dibawah UMR Jawa Tengah.
2. Praktik perawatan
kehamilan
Hampir semua responden menjawab pernah melakukan perawatan kehamilan (96,7%)dengan cara memeriksakan diri ke petugas kesehatan (bidan / dokter) (80%). Sebanyak 20% responden menyatakan tidak melakukan aktivitas seksual pada saat hamil dan 26,7% lainnya menyatakan kadang-kadang.Apabila ada keluhan ketika hamil 41,7% memeriksakan diri ke petugas kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan pemeriksaan kehamilan pada tri-mester pertama sebanyak 48,3%, sedangkan 23,3% lainnya memeriksakan diri dua kali dan sebanyak 13,4% responden memeriksakan kehamilan setiap yang dikarenakan gangguan kehamilan seperti mual dan muntah. Menurut Depkes RI (1998) frekuensi pelayanan ANC yang dianjurkan minimal 4 kali selama kehamilan yaitu: minimal 1 kali pada tribulan pertama, mini- mal 1 kali pada tribulan kedua dan minimal 2 kali pada tribulan ketiga. Sebanyak 36,6% responden melakukan pantang makanan tertentu karena diperkirakan akan mengganggu diri dan janinnya. Hal yang menggembirakan adalah keterlibatan suami dalam periksa kehamilan cukup besar yaitu 76,6%.
3. Praktik Persalinan
Bidan paling banyak dipilih oleh responden sebagai penolong persalinan (63,3%) disusul dengan dukun bayi (18,4%). Beberapa alasan yang dikemukakan oleh responden terhadap penolong persalinan yaitu faktor pengalaman kerja (33,3%), kompeten dalam bidangnya (30%), sedangkan 35% lainnya mempunyai alasan pengalaman pertolongan persalinan sebelumnya, pelayanan lengkap (terutata dukun bayi) dan alasan keterdekatan dengan rumah responden. Lokasi tempat pelayanan (kedekatan dengan tempat tinggal) serta peralatan lengkap dan tenaga trampil merupakan alasan terbanyak mengapa mereka memilih sarana pelayanan. Walaupun ada 43,3% yang menyatakan setuju dilayani oleh Dokter / Bidan perempuan tetapi ada 50% lainnya yang tidak memasalahkan bila dilayani oleh dokter pria. Hal yang menggembirakan, senada dengan keterlibatan suami dalam periksa kehamilan, hampir semua responden (93,4%) menyatakan suami mereka berpartisipasi dalam menyambut persalinan bayi mereka.
4. Praktik perawatan
nifas
Dalam hal praktek perawatan selama masa nifas (setelah ibu melahirkan sampai dengan sekitar 35- 40 hari) beberapa data dapat dipaparkan. Minum jamu yang merupakan kebiasaan sebagian masyarakat suku Jawa juga dilakukan oleh hampir semua responden saat nifas. Hanya satu orang (1,7%) yang dengan jujur menyatakan melakukan hubungan seksual saat nifas, walaupun ini tidak dianjurkan oleh kesehatan dan juga agama (Islam). Selama masa nifas sebagian responden (41,7%) berpantang mengkonsumsi daging dan ikan. Pijat badan untuk mengembalikan kebugaran tubuh setelah bersalin dilakukan oleh 83,3% responden.
5. Deskripsi kondisi sosial budaya
setempat
Masyarakat memiliki kebudayaan yang mencakup aturan – aturan, norma – norma, pandangan hidup yang dijadikan acuan dalam mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat. Pada masyarakat Jawa yang menganut pola garis keturunan patrilineal maka dalam adat kebiasaan keluarga, peranan suami / ayah sangat berpengaruh. ayah / suami sebagai kepala rumah tangga adalah perantara dalam penentuan nasib termasuk yang menguasai sumber-sumber ekonomi keluarga (Herkovits dalam Susilowati, 2001).
Dalam masyarakat Jawa, kehamilan (dan kemudian
kelahiran bayi) merupakan peristiwa yang penting dalam siklus hidup manusia.
Oleh karena itu ibu dan keluarga melakukan serangkaian aktivitas ritual untuk
menyambutnya. Faktor kekerabatan (suami, orang tua, nenek) masih memberikan
peran yang penting dalam tindakan-tindakan si ibu berkaitan dengan kehamilan,
persalinan dan pasca persalinan, baik dalam memberikan nasehat (karena mereka
sudah berpengalaman menjalani peristiwa tersebut) maupun pengambilan keputusan
siapa penolong persalinan dan sarana pelayanan apakah yang akan
dipergunakan.
Selama kehamilan, biasanya ibu akan melakukan berbagai upaya agar bayi dan ibunya sehat dan dapat bersalin dengan selamat, nor- mal dan tidak cacat. Sebagian masyarakat masih berpantang makan makanan tertentu seperti udang atau kepiting dan buah nanas, walaupun menurut kesehatan pantangan makanan tertentu tidak dibenarkan apalagi kalau makanan tersebut bergizi. Selama kehamilan juga ada pantangan yang harus diperhatikan ibu dan bapak misal: tidak boleh menyiksa atau membunuh binatang dan tidak boleh mengejek orang yang cacat supaya si bayi dapat lahir dengan selamat dan tidak cacat. Terutama keluarga dengan tingkat pendidikan yang cukup tinggi, seiring dengan kemajuan jaman sudah banyak yang tidak mempercayainya begitu juga dengan sebagian responden penelitian.
Informan/ responden dari tokoh masyarakat, tokoh
agama dan PLKB menjelaskan bahwa sebagian besar masyarakat
masih memperingati upacara 7 bulan bayi dalam kandungan khususnya bagi anak
pertama, termasuk sebagian besar responden ibu yang telah diwawancarai. Di
daerah lain pada suku Jawa upacara tersebut disebut mitoni, sedangkan
di Kabupaten Jepara disebut munari. Munari merupakan upacara selamatan
dengan nasi tumpeng yang puncaknya adalah nasi ketan berwarna
kuning yang diibaratkan cahaya sebagai simbol bahwa pada usia kehamilan ketujuh
si janin sudah mempunyai roh atau nyawa. Acara munari ini seringkali dilengkapi
dengan upacara seperti halnya mitoni yaitu si ibu ganti kain tujuh kali,
memecahkan kelapa gading yang berukir gambar tokoh wayang Dewa Kamajaya dan Dewi
Kamaratih (dua dewa / dewi dalam pewayangan yang terkenal ketampanan dan
kecantikannya) dengan harapan si bayi nantinya akan tampan seperti Dewa Kamajaya
dan cantik seperti Dewi Kamaratih. Upacara ini seringkali
dipimpin oleh dukun bayi atau orang yang dituakan di dalam keluarga tersebut. Di
dalam upacara tersebut suami harus terlibat dalam rangkaian upacara.
Keterlibatan/ partisipasi suami
selama masa kehamilan istri cukup besar baik dalam bentuk aktivitas mengantar
istri memeriksakan kandungan ke bidan / dokter, berusaha memenuhi keinginan
istri yang sedang nyidam maupun mengingatkan agar istrinya lebih banyak makan
makanan yang bergizi. Para suami terutama yang berpendidikan cukup tinggi
cenderung melarang bila istrinya berpantang makanan tertentu. Menurut pandangan
mereka, sepanjang yang dimakan ibu hamil memenuhi kriteria sehat dan bergizi
baik untuk ibu dan bayi maka tidak dibenarkan untuk berpantang walaupun pada
masyarakat sekitar masih berlaku pantangan makan makanan tertentu atau
bertingkah laku tertentu pada saat istrinya hamil.
Muis (1996) dalam penelitiannya di Kota Semarang
menyebutkan bahwa para orang tua/ mertua sangat berperan dalam menentukan,
menasehati dan menyarankan anaknya/ menantunya untuk periksa hamil pada bidan
atau memilih dukun bayi sebagai penolong persalinan. Sutrisno
(1997) dalam penelitiannya di Kabupaten Purworejo juga mengungkapkan bahwa
suami, orang tua dan mertua adalah anggota kelompok referensi yang paling sering
memberikan anjuran memilih tenaga penolong persalinan.
Susilowati (2001) dalam penelitiannya di Kabupaten Semarang
juga menemukan bahwa suami sangat dominan dalam pengambilan keputusan rumah
tangga sehari-hari, tetapi dalam menentukan penolong persalinan dan tempat
bersalin yang dominan adalah orang tua dan mertua. Pada saat menghadapi masalah
medis persalinan masih diperlukan musyawarah keluarga untuk merujuk ibu bersalin
ke rumah sakit.
Menurut responden tokoh masyarakat dan tokoh
agama, kelahiran bayi adalah suatu peristiwa yang perlu dirayakan dengan upacara
tertentu. Masyarakat Kabupaten Jepara yang mayoritas beragama Islam biasa
melakukan serangkaian acara mulai dari pembacaan adzan pada telinga
kanan bayi sesaat setelah kelahirannya, dilanjutkan dengan pencucian plasenta
bayi atau Plasenta, diberi doa dan dan dimasukkan dalam
wadah tertutup dari tanah liat dan diberi kembang telon (bunga tiga
warna) dan dikuburkan di depan rumah/ teras serta diterangi sentir/ teplok (lampu minyak) pada malam
hari. Pelaku dari semua upacara ini adalah suami dari istri yang baru saja
melahirkan. Berdasarkan pengamatan di depan rumah beberapa rumah responden ,yang
kebetulan baru beberapa hari melahirkan, terdapat gundukan tanah yang ditutupi
dengan pagar dari bambu dan diberi lampu minyak dan mereka menjelaskan bahwa
plasenta bayi telah mereka kuburkan di situ.
Di daerah Jepara dikenal upacara krayanan
atau brokohan atau selapanan yaitu upacara pada saat bayi
berusia 35 hari untuk memberi nama bayi dengan cara berdoa bersama dan
bancakan atau selamatan dengan nasi urap / sego gudangan rambanan
reno pitu . Bersamaan dengan upacara krayanan tersebut juga diadakan
upacara adat walikan atau resikan. Upacara
ini lebih ditujukan untuk si ibu bayi karena sudah selesai menjalani masa nifas
dan siap untuk melayani suaminya kembali. Pada saat selamatan itu si ibu dirias
secantik mungkin. Di dalam upacara ini kehadiran dukun bayi juga penting,
terutama bila mereka yang menolong kelahiran bayinya.
Menurut responden, dukun bayi
dirasakan mempunyai beberapa kelebihan disbanding bidan / dokter yaitu dukun
bayi mampu memberikan pelayanan yang paripurna mulai dari menolong persalinan
sampai memimpin upacara kelahiran bayi. Dukun bayi juga siap setiap saat
dibutuhkan, memberikan rasa nyaman dan aman karena mereka kebanyakan dituakan,
begitu juga hubungan kekeluargaan membuat kehadiran dukun bayi dalam hal
tertentu sulit digantikan oleh bidan. Kepala puskesmas dan
bidan serta PLKB yang diwawancarai menyadari bahwa dukun bayi
masih dibutuhkan oleh masyarakat, oleh karena itu program pelatihan dukun bayi
dan pembinaan serta pendampingan oleh bidan Puskesmas merupakan program yang
terus dijalankan. Di sisi lain mereka mengupayakan peningkatan peran bidan dan
bidan di desa (BDD) tetapi mengusahakan agar tidak lahir dukun bayi baru karena
adanya target cakupan tertentu dari ANC dan persalinan oleh
tenaga kesehatan serta eliminasi tetanus neonatorum (ETN) yang
harus diupayakan menjadi angka nol. Pemotongan dan perawatan tali pusat yang
tidak bersih dan steril merupakan salah satu penyebab utama adanya tetanus
neonatorum. Dukun yang belum dilatih seringkali melakukan
pemotongan dan perawatan tali pusat secara tidak higienis seperti diberi kunyit
atau apu (kapur gamping yang basah), tetapi saat ini hal tersebut
hampir tidak pernah ditemui karena semua dukun bayi di desa lokasi penelitian
sudah dilatih oleh Puskesmas.
Nuansa Islam yang cukup kuat mewarnai adat dengan
adanya upacara kekahan atau aqiqah yaitu ungkapan rasa
bersyukur pada Tuhan YME atas anugerah anak dan sebagai salah satu kewajiban
orang tua dalam ajaran Islam terhadap anaknya. Pada acara kekahan ini untuk anak
laki-laki akan disembelih dua ekor kambing, sedangkan bila anak perempuan cukup
satu ekor kambing. Daging yang sudah dimasak dibagikan kepada para tamu dan
tetangga.Adat kekahan tidak mesti harus segera dilakukan setelah bayi lahir
tetapi bisa sampai dengan menjelang remaja. Kekahan biasanya dilakukan oleh
keluarga yang cukup mampu.
Perilaku positif lainnya yang masih dijalankan
seperti halnya kebiasaan para ibu dari suku Jawa setelah melahirkan yaitu
kebiasaan minum jamu dengan tujuan agar ASI mereka lancar serta
untuk menjaga kesehatan dan kebugaran ibu. Jamu wejah diminum agar ASI
lancar dan jamu beras kencur agar badan tidak terasa capek dan jamu
pilis yang ditempelkan di dahi agar kepala terasa ringan dan tidak
pusing. Selama masa nifas ada pantangan berhubungan seksual. Hal positif ini
sejalan dengan kesehatan dan larangan dalam agama Islam yang mayoritas mereka
anut.
Perilaku yang kurang mendukung selama masa nifas yaitu pantang makanan tertentu yang lebih dikaitkan
dengan si bayi antara lain agar ASI tidak berbau amis antara lain daging dan
ikan laut. Kebiasaan kurang baik lainnya yang masih ada yaitu bayi digedhong
atau membungkus bayi dengan jarik (kain batik pelengkap busana
kebaya) agar bayi hangat dan diam. Bila hal ini dilakukan terus menerus akan
berpengaruh pada aktivitas bayi dan pertumbuhan tulangnya.
Apabila bayi lahir cacat (bibir sumbing) atau bayi
lahir dengan sungsang yang dahulu seringkali dikaitkan dengan kesalahan masa
lalu orang tuanya atau orang tuanya melanggar pantangan tertentu maka sebagian
besar responden menganggap hal tersebut tidak benar. Bayi lahir sungsang atau
bibir bayi sumbing mereka percayai semata-mata karena masalah kesehatan.
SIMPULAN
Praktik perawatan kehamilan, persalinan bayi dan nifas di lokasi penelitian telah banyak mendukung upaya kesehatan reproduksi antara lain: periksa hamil. Bidan adalah pilihan pertama sebagai penolong persalinan tetapi dukun bayi juga masih diminati. Peran suami cukup menonjol dalam masa kehamilan, persalinan bayi dan nifas. Tradisi budaya Jawa seperti minum jamu, pantang makanan tertentu, pijat untuk kebugaran ibu setelah melahirkan masih mereka jalankan. Nuansa budaya Jawa tercermin pada berbagai ritual budaya yang diwarnai oleh agama (Islam) yaitu mulai dari mitoni (munari), krayanan (brokohan),resikan (walikan) dan kekahan (aqiqah).
Masih diperlukan KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi) yang terus menerus yang bertujuan untuk mempertahankan
praktek yang positif dan mengurangi/ menghilangkan pemahaman nilai-nilai yang
tidak mendukung kesehatan reproduksi.
Tulisan ini juga dapat dibaca pada blog saya yang lain
(klik).
|
Posted in
Rabu, 09 Januari 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar