Apa yaa???

Loading

Sosial Budaya dalam Praktik Perawatan Kehamilan dan Persalinan
Background : Reproductive health is focusing on the reproductive aspect of women which are considerable problems on sexuality and reproduction, such as ante-natal care, delivery process, postpartum treatment etc. Maternal Mortality Rate and infant mortality rate are some indicators of reproductive health, where in Indonesia those rate are still high rather than some neighboring countries. Previous research showed that socio-cultural and demographic factors influence the high maternal and infant mortality rate. The purpose of this study was to describe socio- cultural aspect towards ante-natal care, delivery process and post –partum treatment among Javanese.
Method: The design study was observational with cross sectional approach. The research took place in Jepara Region, Central Java. The population study was women in reproductive age and total number of the sample was 60 women. Data were collected through questionnaire using in – depth interview guide. Socio- cultural factors data were gathered through in-depth interview with health providers, such as doctors, midwives as well as religious people and community leader.
Results: This study found that the majority of the respondents (96.7%) did antenatal care, assisted by doctors or midwifes, accompanied by their husband (76.6%), done every month (48.3%). Midwife is health provider who was mostly chosen by respondents furthermore by traditional birth attendance (18,4%). The accompanying reasons were the distance between the home and the location, skill and the complete of the apparatus. Most of the respondent (93%) accompanied by their husband during birth process. During post- partum period, they took traditional medicine and also massage. This study found that there is no special food has been consumed during antenatal and post-partum period. Ritual activities have done such as mitoni (munari), krayanan (brokohan), resikan (walikan) and kekahan (aqiqah) since pregnancy until post-partum period. (Keywords : Antenatal care, Reproductive health, post partum.)
PENDAHULUAN
Konsep Kesehatan Reproduksi yang diperkenalkan dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo, Mesir, tahun 1994 yang menekankan kondisi kesehatan yang lengkap tidak sekedar terbebas dari penyakit atau kelemahan fisik, akan tetapi meliputi aspek mental dan sosial, yang berkorelasi dengan bekerjanya fungsi sistem serta proses reproduksi.
Bertolak dari konsep kesehatan reproduksi tersebut, sasaran program kesehatan reproduksi difokuskan pada wanita sepanjang masa reproduksinya atau wanita usia subur, yaitu sejak wanita tersebut mendapatkan menstruasi pertama sampai dengan masa menopause (antara 15 tahun hingga 49 tahun), baik menikah maupun tidak menikah. Program-program kesehatan reproduksi meliputi pendidikan kehidupan keluarga, pencegahan kehamilan remaja, pencegahan penyakit menular seksual, perawatan kehamilan, pertolongan persalinan, perawatan nifas, pertolongan bayi baru lahir, dan keluarga berencana yang meliputi pemakaian alat kontrasepsi, peningkatan kemandirian ber KB dan kegiatan-kegiatan yang mendukung Program Pembangunan Keluarga Sejahtera (BKKBN, 1998)
Beberapa kendala masih ditemui di dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi antara lain adanya realita tentang kurangnya kesatuan pengertian tentang kesehatan reproduksi, kurang tersedianya infra strukkur di setiap kabupaten/ kota, adanya variasi geografis, aspek sosial budaya serta tingkat sosio ekonomi yang relatif terbatas (BKKBN, 1998).
Salah satu indikator kurang berhasilnya pro- gram kesehatan reproduksi, ialah relatif masih tingginya angka kematian ibu melahirkan (AKI). Angka kematian bayi baru lahir (IMR) menurut perkiraan SDKI tahun 1997 yaitu 25 per 1000 kelahiran hidup (Depkes, 2001) Angka kematian ibu (AKI) menurut SKRT tahun 1986 adalah 450/ 100.000 kelahiran hidup mengalami penurunan yang lambat menjadi 373/ 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1995 dan turun lagi menjadi 51/ 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2001. Angka ini 3 – 6 kali lebih besar dari negara- negara di ASEAN dan 50 kali lebih besar angka di negara maju. Indonesia menetapkan target penurunan AKI dari 115/ 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1990 menjadi 75/ 100.000 pada tahun 2015 dan penurunan angka kematian bayi (AKB) menjadi 35/ 1000 kelahiran hidup di tahun 2015. (Depkes RI, 2002)
Untuk mengatasi masalah tersebut maka pemerintah menetapkan target pada tahun 2010 yaitu: 1).menurunkan angka kematian ibu menjadi 125/100.000 kelahiran hidup, 2). menurunkan angka kematian neonatal menjadi 15/1000 kelahiran hidup serta target proses dan output diantaranya adalah meningkatkan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan trampil menjadi 85% (Depkes RI, 2004). Untuk mencapai tar- get tersebut, strategi yang diterapkan yaitu Making pregnancy Safer (MPS) yang mempunyai visi : semua perempuan di Indonesia dapat menjalani kehamilan dan persalinan dengan aman serta bayi yang dilahirkan hidup dan sehat (Depkes RI, 2004).
Empat pilar strategi utama MPS yang konsisten dengan Indonesia Sehat 2010 yaitu :
1). meningkatkan akses dan cakupan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir berkualitas yang cost effective dan berdasarkan bukti-bukti yang didukung dengan 2). membangun kemitraan yang efektif melalui kerjasama lintas program, lintas sektoral dan mitra lainnya untuk melakukan advokasi guna memaksimalkan sumber daya yang tersedia serta meningkatkan koordinasi perencanaan dan kegiatan MPS, 3). mendorong pemberdayaan wanita dan keluarga melalui peningkatan pengetahuan untuk menjamin perilaku sehat dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir, 4). mendorong keterlibatan masyarakat dalam menjamin penyediaan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir (Depkes RI, 2001)
Tingginya angka kematian maternal yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan dipengaruhi oleh faktor- faktor di dalam dan di luar kesehatan / medis. Pelayanan obstetri yang tepat guna dan memadai bila tersedia belum menjamin pemanfaatannya oleh masyarakat karena adanya hambatan jarak , biaya dan budaya. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam pengenalan tanda bahaya dan pencarian pertolongan profesional seringkali belum memadai. Di banyak negara berkembang masih ditemukan hambatan akses yaitu berupa ketidakberdayaan wanita dalam pengambilan keputusan sementara peran suami, ibu atau mertua sangat dominan dan banyak faktor lain yang menyebabkan keterlambatan dalam rujukan.
Secara umum dikenal tiga jenis terlambat yaitu :1).terlambat dalam mengambil keputusan merujuk yang merupakan langkah pertama untuk menyelamatkan ibu yang mengalami komplikasi obstetri, 2). terlambat dalam mencapai fasilitas kesehatan yang dipengaruhi oleh jarak, ketersediaan dan efisiensi sarana trasnportasi serta biayanya, 3). terlambat dalam memperoleh pertolongan di fasilitas kesehatan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor : jumlah dan ketrampilan tenaga kesehatan, ketersediaan peralatan, obat, transfusi darah dan bahan habis pakai serta manajemen dan kondisi fasilitas pelayanan (Depkes RI, 1999).
Proses reproduksi berawal dari sebelum terjadi konsepsi, sebelum terjadi pembuahan oleh sperma terhadap sel telur, kemudian terjadi konsepsi, hamil, lahir, bayi, remaja, usia produktif dan usia lanjut. Dengan demikian kesehatan reproduksi dimulai sejak masa remaja hingga usia lanjut (Muhammad, 1996). Untuk menjamin terjadinya kesehatan reproduksi yang optimal perlu pelayanan kesehatan reproduksi yang berkesinambungan, sejak remaja hingga usia lanjut.
Kesehatan reproduksi kaum remaja ditekankan pada kegiatan pendidikan kehidupan keluarga, pencegahan kehamilan remaja dan pencegahan penyakit menular seksual. Sedang pada masa perkawinan dalam kondisi produktif kesehatan reproduksi yang perlu diupayakan meliputi perwatan kehamilan, pertolongan persalinan, perawatan bayi baru lahir, perawatan nifas dan praktek keluarga berencana, dan upaya-upaya ini sering disebut sebagaisafe motherhood. Pada masa usia lanjut, kesehatan reproduksi berkaitan dengan upaya skrinning keganasan tumor dan menopause (Muhammad, 1996).
Kondisi sosial budaya (adat istiadat) dan kondisi lingkungan (kondisi geografis) berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi. Situasi budaya dalam hal ini adat istiadat saat ini memang tidak kondusif untuk help seeking behavior dalam masalah kesehatan reproduksi di Indonesia (Muhammad, 1996). Hal ini dikemukakan berdasarkan realita, bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya sudah terbiasa menganggap bahwa kehamilan merupakan suatu hal yang wajar yang tidak memerlukan antenal care. Hal ini tentu berkaitan pula tentang pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya antenatal care dan pemeliharaan kesehatan reproduksi lainnya.
Tingginya angka kematian bayi dan ibu bersalin serta faktor penyebabnya baik dari segi kesehatan/ medis maupun diluar kesehatan mendorong penulis untuk meneliti bagaimanakah praktek perawatan kehamilan, persalinan dan nifas serta deskripsi sosial budayanya. Karena luasnya bidang kajian kesehatan reproduksi maka dalam tulisan ini dibatasi pada masa kehamilan yaitu perawatan kehamilan, kelahiran (persalinan) bayi dan masa nifas (perawatan nifas).
1. Karakteristik Responden
Mayoritas responden berumur 20 sampai 29 tahun (43,3%0 dengan tingkat pendidikan terbanyak adalah lulus SD (31,7%) dan penghasilan keluarga responden terbanyak adalah Rp.400.000,- perbulan atau rata-rata dibawah UMR Jawa Tengah.
2. Praktik perawatan kehamilan
Hampir semua responden menjawab pernah melakukan perawatan kehamilan (96,7%)dengan cara memeriksakan diri ke petugas kesehatan (bidan / dokter) (80%). Sebanyak 20% responden menyatakan tidak melakukan aktivitas seksual pada saat hamil dan 26,7% lainnya menyatakan kadang-kadang.Apabila ada keluhan ketika hamil 41,7% memeriksakan diri ke petugas kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan pemeriksaan kehamilan pada tri-mester pertama sebanyak 48,3%, sedangkan 23,3% lainnya memeriksakan diri dua kali dan sebanyak 13,4% responden memeriksakan kehamilan setiap yang dikarenakan gangguan kehamilan seperti mual dan muntah. Menurut Depkes RI (1998) frekuensi pelayanan ANC yang dianjurkan minimal 4 kali selama kehamilan yaitu: minimal 1 kali pada tribulan pertama, mini- mal 1 kali pada tribulan kedua dan minimal 2 kali pada tribulan ketiga. Sebanyak 36,6% responden melakukan pantang makanan tertentu karena diperkirakan akan mengganggu diri dan janinnya. Hal yang menggembirakan adalah keterlibatan suami dalam periksa kehamilan cukup besar yaitu 76,6%.
3. Praktik Persalinan
Bidan paling banyak dipilih oleh responden sebagai penolong persalinan (63,3%) disusul dengan dukun bayi (18,4%). Beberapa alasan yang dikemukakan oleh responden terhadap penolong persalinan yaitu faktor pengalaman kerja (33,3%), kompeten dalam bidangnya (30%), sedangkan 35% lainnya mempunyai alasan pengalaman pertolongan persalinan sebelumnya, pelayanan lengkap (terutata dukun bayi) dan alasan keterdekatan dengan rumah responden. Lokasi tempat pelayanan (kedekatan dengan tempat tinggal) serta peralatan lengkap dan tenaga trampil merupakan alasan terbanyak mengapa mereka memilih sarana pelayanan. Walaupun ada 43,3% yang menyatakan setuju dilayani oleh DokterBidan perempuan tetapi ada 50% lainnya yang tidak memasalahkan bila dilayani oleh dokter pria. Hal yang menggembirakan, senada dengan keterlibatan suami dalam periksa kehamilan, hampir semua responden (93,4%) menyatakan suami mereka berpartisipasi dalam menyambut persalinan bayi mereka.
4. Praktik perawatan nifas
Dalam hal praktek perawatan selama masa nifas (setelah ibu melahirkan sampai dengan sekitar 35- 40 hari) beberapa data dapat dipaparkan. Minum jamu yang merupakan kebiasaan sebagian masyarakat suku Jawa juga dilakukan oleh hampir semua responden saat nifas. Hanya satu orang (1,7%) yang dengan jujur menyatakan melakukan hubungan seksual saat nifas, walaupun ini tidak dianjurkan oleh kesehatan dan juga agama (Islam). Selama masa nifas sebagian responden (41,7%) berpantang mengkonsumsi daging dan ikan. Pijat badan untuk mengembalikan kebugaran tubuh setelah bersalin dilakukan oleh 83,3% responden.
5. Deskripsi kondisi sosial budaya setempat
Masyarakat memiliki kebudayaan yang mencakup aturan – aturan, norma – norma, pandangan hidup yang dijadikan acuan dalam mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat. Pada masyarakat Jawa yang menganut pola garis keturunan patrilineal maka dalam adat kebiasaan keluarga, peranan suami / ayah sangat berpengaruh. ayah / suami sebagai kepala rumah tangga adalah perantara dalam penentuan nasib termasuk yang menguasai sumber-sumber ekonomi keluarga (Herkovits dalam Susilowati, 2001).
Dalam masyarakat Jawa, kehamilan (dan kemudian kelahiran bayi) merupakan peristiwa yang penting dalam siklus hidup manusia. Oleh karena itu ibu dan keluarga melakukan serangkaian aktivitas ritual untuk menyambutnya. Faktor kekerabatan (suami, orang tua, nenek) masih memberikan peran yang penting dalam tindakan-tindakan si ibu berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan pasca persalinan, baik dalam memberikan nasehat (karena mereka sudah berpengalaman menjalani peristiwa tersebut) maupun pengambilan keputusan siapa penolong persalinan dan sarana pelayanan apakah yang akan dipergunakan.
Selama kehamilan, biasanya ibu akan melakukan berbagai upaya agar bayi dan ibunya sehat dan dapat bersalin dengan selamat, nor- mal dan tidak cacat. Sebagian masyarakat masih berpantang makan makanan tertentu seperti udang atau kepiting dan buah nanas, walaupun menurut kesehatan pantangan makanan tertentu tidak dibenarkan apalagi kalau makanan tersebut bergizi. Selama kehamilan juga ada pantangan yang harus diperhatikan ibu dan bapak misal: tidak boleh menyiksa atau membunuh binatang dan tidak boleh mengejek orang yang cacat supaya si bayi dapat lahir dengan selamat dan tidak cacat. Terutama keluarga dengan tingkat pendidikan yang cukup tinggi, seiring dengan kemajuan jaman sudah banyak yang tidak mempercayainya begitu juga dengan sebagian responden penelitian.
Informan/ responden dari tokoh masyarakat, tokoh agama dan PLKB menjelaskan bahwa sebagian besar masyarakat masih memperingati upacara 7 bulan bayi dalam kandungan khususnya bagi anak pertama, termasuk sebagian besar responden ibu yang telah diwawancarai. Di daerah lain pada suku Jawa upacara tersebut disebut mitoni, sedangkan di Kabupaten Jepara disebut munari. Munari merupakan upacara selamatan dengan nasi tumpeng yang puncaknya adalah nasi ketan berwarna kuning yang diibaratkan cahaya sebagai simbol bahwa pada usia kehamilan ketujuh si janin sudah mempunyai roh atau nyawa. Acara munari ini seringkali dilengkapi dengan upacara seperti halnya mitoni yaitu si ibu ganti kain tujuh kali, memecahkan kelapa gading yang berukir gambar tokoh wayang Dewa Kamajaya dan Dewi Kamaratih (dua dewa / dewi dalam pewayangan yang terkenal ketampanan dan kecantikannya) dengan harapan si bayi nantinya akan tampan seperti Dewa Kamajaya dan cantik seperti Dewi Kamaratih. Upacara ini seringkali dipimpin oleh dukun bayi atau orang yang dituakan di dalam keluarga tersebut. Di dalam upacara tersebut suami harus terlibat dalam rangkaian upacara.
Keterlibatan/ partisipasi suami selama masa kehamilan istri cukup besar baik dalam bentuk aktivitas mengantar istri memeriksakan kandungan ke bidan / dokter, berusaha memenuhi keinginan istri yang sedang nyidam maupun mengingatkan agar istrinya lebih banyak makan makanan yang bergizi. Para suami terutama yang berpendidikan cukup tinggi cenderung melarang bila istrinya berpantang makanan tertentu. Menurut pandangan mereka, sepanjang yang dimakan ibu hamil memenuhi kriteria sehat dan bergizi baik untuk ibu dan bayi maka tidak dibenarkan untuk berpantang walaupun pada masyarakat sekitar masih berlaku pantangan makan makanan tertentu atau bertingkah laku tertentu pada saat istrinya hamil.
Muis (1996) dalam penelitiannya di Kota Semarang menyebutkan bahwa para orang tua/ mertua sangat berperan dalam menentukan, menasehati dan menyarankan anaknya/ menantunya untuk periksa hamil pada bidan atau memilih dukun bayi sebagai penolong persalinan. Sutrisno (1997) dalam penelitiannya di Kabupaten Purworejo juga mengungkapkan bahwa suami, orang tua dan mertua adalah anggota kelompok referensi yang paling sering memberikan anjuran memilih tenaga penolong persalinan. Susilowati (2001) dalam penelitiannya di Kabupaten Semarang juga menemukan bahwa suami sangat dominan dalam pengambilan keputusan rumah tangga sehari-hari, tetapi dalam menentukan penolong persalinan dan tempat bersalin yang dominan adalah orang tua dan mertua. Pada saat menghadapi masalah medis persalinan masih diperlukan musyawarah keluarga untuk merujuk ibu bersalin ke rumah sakit.
Menurut responden tokoh masyarakat dan tokoh agama, kelahiran bayi adalah suatu peristiwa yang perlu dirayakan dengan upacara tertentu. Masyarakat Kabupaten Jepara yang mayoritas beragama Islam biasa melakukan serangkaian acara mulai dari pembacaan adzan pada telinga kanan bayi sesaat setelah kelahirannya, dilanjutkan dengan pencucian plasenta bayi atau Plasenta, diberi doa dan dan dimasukkan dalam wadah tertutup dari tanah liat dan diberi kembang telon (bunga tiga warna) dan dikuburkan di depan rumah/ teras serta diterangi sentir/ teplok (lampu minyak) pada malam hari. Pelaku dari semua upacara ini adalah suami dari istri yang baru saja melahirkan. Berdasarkan pengamatan di depan rumah beberapa rumah responden ,yang kebetulan baru beberapa hari melahirkan, terdapat gundukan tanah yang ditutupi dengan pagar dari bambu dan diberi lampu minyak dan mereka menjelaskan bahwa plasenta bayi telah mereka kuburkan di situ.
Di daerah Jepara dikenal upacara krayanan atau brokohan atau selapanan yaitu upacara pada saat bayi berusia 35 hari untuk memberi nama bayi dengan cara berdoa bersama dan bancakan atau selamatan dengan nasi urap / sego gudangan rambanan reno pitu . Bersamaan dengan upacara krayanan tersebut juga diadakan upacara adat walikan atau resikan. Upacara ini lebih ditujukan untuk si ibu bayi karena sudah selesai menjalani masa nifas dan siap untuk melayani suaminya kembali. Pada saat selamatan itu si ibu dirias secantik mungkin. Di dalam upacara ini kehadiran dukun bayi juga penting, terutama bila mereka yang menolong kelahiran bayinya.
Menurut responden, dukun bayi dirasakan mempunyai beberapa kelebihan disbanding bidan / dokter yaitu dukun bayi mampu memberikan pelayanan yang paripurna mulai dari menolong persalinan sampai memimpin upacara kelahiran bayi. Dukun bayi juga siap setiap saat dibutuhkan, memberikan rasa nyaman dan aman karena mereka kebanyakan dituakan, begitu juga hubungan kekeluargaan membuat kehadiran dukun bayi dalam hal tertentu sulit digantikan oleh bidan. Kepala puskesmas dan bidan serta PLKB  yang diwawancarai menyadari bahwa dukun bayi masih dibutuhkan oleh masyarakat, oleh karena itu program pelatihan dukun bayi dan pembinaan serta pendampingan oleh bidan Puskesmas merupakan program yang terus dijalankan. Di sisi lain mereka mengupayakan peningkatan peran bidan dan bidan di desa (BDD) tetapi mengusahakan agar tidak lahir dukun bayi baru karena adanya target cakupan tertentu dari ANC dan persalinan oleh tenaga kesehatan serta eliminasi tetanus neonatorum (ETN) yang harus diupayakan menjadi angka nol. Pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak bersih dan steril merupakan salah satu penyebab utama adanya tetanus neonatorum. Dukun yang belum dilatih seringkali melakukan pemotongan dan perawatan tali pusat secara tidak higienis seperti diberi kunyit atau apu (kapur gamping yang basah), tetapi saat ini hal tersebut hampir tidak pernah ditemui karena semua dukun bayi di desa lokasi penelitian sudah dilatih oleh Puskesmas.
Nuansa Islam yang cukup kuat mewarnai adat dengan adanya upacara kekahan atau aqiqah yaitu ungkapan rasa bersyukur pada Tuhan YME atas anugerah anak dan sebagai salah satu kewajiban orang tua dalam ajaran Islam terhadap anaknya. Pada acara kekahan ini untuk anak laki-laki akan disembelih dua ekor kambing, sedangkan bila anak perempuan cukup satu ekor kambing. Daging yang sudah dimasak dibagikan kepada para tamu dan tetangga.Adat kekahan tidak mesti harus segera dilakukan setelah bayi lahir tetapi bisa sampai dengan menjelang remaja. Kekahan biasanya dilakukan oleh keluarga yang cukup mampu.
Perilaku positif lainnya yang masih dijalankan seperti halnya kebiasaan para ibu dari suku Jawa setelah melahirkan yaitu kebiasaan minum jamu dengan tujuan agar ASI mereka lancar serta untuk menjaga kesehatan dan kebugaran ibu. Jamu wejah diminum agar ASI lancar dan jamu beras kencur agar badan tidak terasa capek dan jamu pilis yang ditempelkan di dahi agar kepala terasa ringan dan tidak pusing. Selama masa nifas ada pantangan berhubungan seksual. Hal positif ini sejalan dengan kesehatan dan larangan dalam agama Islam yang mayoritas mereka anut.
Perilaku yang kurang mendukung selama masa nifas yaitu pantang makanan tertentu yang lebih dikaitkan dengan si bayi antara lain agar ASI tidak berbau amis antara lain daging dan ikan laut. Kebiasaan kurang baik lainnya yang masih ada yaitu bayi digedhong atau membungkus bayi dengan jarik (kain batik pelengkap busana kebaya) agar bayi hangat dan diam. Bila hal ini dilakukan terus menerus akan berpengaruh pada aktivitas bayi dan pertumbuhan tulangnya.
Apabila bayi lahir cacat (bibir sumbing) atau bayi lahir dengan sungsang yang dahulu seringkali dikaitkan dengan kesalahan masa lalu orang tuanya atau orang tuanya melanggar pantangan tertentu maka sebagian besar responden menganggap hal tersebut tidak benar. Bayi lahir sungsang atau bibir bayi sumbing mereka percayai semata-mata karena masalah kesehatan.
SIMPULAN
Praktik perawatan kehamilan, persalinan bayi dan nifas di lokasi penelitian telah banyak mendukung upaya kesehatan reproduksi antara lain: periksa hamil. Bidan adalah pilihan pertama sebagai penolong persalinan tetapi dukun bayi juga masih diminati. Peran suami cukup menonjol dalam masa kehamilan, persalinan bayi dan nifas. Tradisi budaya Jawa seperti minum jamu, pantang makanan tertentu, pijat untuk kebugaran ibu setelah melahirkan masih mereka jalankan. Nuansa budaya Jawa tercermin pada berbagai ritual budaya yang diwarnai oleh agama (Islam) yaitu mulai dari mitoni (munari), krayanan (brokohan),resikan (walikan) dan kekahan (aqiqah).
Masih diperlukan KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi) yang terus menerus yang bertujuan untuk mempertahankan praktek yang positif dan mengurangi/ menghilangkan pemahaman nilai-nilai yang tidak mendukung kesehatan reproduksi.
  1. KEPUSTAKAAN
    Departemen Kesehatan RI. 1998. Pedoman Pelayanan Dasar Kebidanan. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 1999. Materi Ajar Modul Safe Motherhood, kerjasama Depkes RI dengan Fakultas Kesehatan masyarakat niversitas Indonesia.
  2. Departemen Kesehatan RI. 2000. Visi Indonesia Tahun 2010. Jakarta.
  3. Departemen Kesehatan RI. 2001. Rencana Strategis Nasional Making Pregnancy Safer (MPS) di Indonesia tahun 2001 – 2010. Jakarta.
  4. Departemen Kesehatan RI. 2002. Pedoman Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED). Jakarta.
  5. Departemen Kesehatan RI. 2004. Panduan Marketing Public Relation. Materi MPS, bagian Proyek PUK – SMPPA, Propinsi Jawa Tengah. Semarang.
  6. Muhammad, Kartono. 1996. Prioritas Pelayanan Kesehatan Reproduksi dalam Seksualitas Kesehatan Reproduksi dan Ketimpangan Gender. Pustaka Sinar Harapan. PPK UGM. Yogyakarta.
  7. Muis, Fatimah, dkk. 1996. Kualitas Pelayanan Persalinan di Jawa Tengah; Studi di Kotamadya Semarang. Pusat penelitian Kesehatan dan Pusat Studi Wanita Lembag Penelitian Universitas Diponegoro. Semarang.
  8. Sutresno, Ismail J. 1997. Persepsi perilaku Ibu hamil dan Masyarakat terhadap Resiko kehamilan dan Persalinan di Kabupaten Purworejo. tesis dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis bidang studi Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
  9. Susilowati, Rini. 2001. Pola Pengambilan Keputusan Keluarga dan Penolong Persalinan dalam Memutuskan Merujuk Ibu Bersalin ke Rumah Sakit pada Kasus Kematian Ibu Bersalin di Kabupaten Semarang. tesis pada Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang. 
Tulisan ini juga dapat dibaca pada blog saya yang lain (klik).

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright 2009 I am Different (ONA). All rights reserved.
Bread Machine Reviews | watch free movies online by Blogger Templates